Muhammadiyah dan Pemberdayaan Mustadh’afin

Muhammadiyah dan Pemberdayaan Mustadh’afin - Hallo sahabat Bahan Ajar Sekolah, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Muhammadiyah dan Pemberdayaan Mustadh’afin, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. Mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini ada manfaatnya. Baiklah, selamat membaca.

Judul : Muhammadiyah dan Pemberdayaan Mustadh’afin
Link : Muhammadiyah dan Pemberdayaan Mustadh’afin



Muhammadiyah dan Pemberdayaan Mustadh’afin
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Kemuhammadiyahan 1”
Dosen Pengampu :
Maria Susanti, S.Pd./Iskandar, M.Hum.

Kelompok 6
Disusun Oleh :
Aprilia Mayang Sari
Erizal
Maria
Novia Dwi Pratiwi
Rizki Ayu Fauziyah
Wikan Kurniawati
A. M. Zhikri

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
MUHAMMADIYAH BANGKA BELITUNG
TAHUN 2015-2016

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa atas segala hidayah dan rahmat-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas berupa makalah ini yang penyusun beri judul “Muhammadiyah dan Pemberdayaan Mustadl’afin”.
Penyusun juga mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu, membimbing dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
Dalam menyusun makalah ini penyusun telah berusaha secara maksimal, namun penyusun  menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penyusun harapkan untuk perbaikan di masa akan datang.
Penyusun berharap makalah ini akan memberi manfaat bagi pembaca dan generasi yang akan datang.

Pangkalpinang,  23 April 2016
Penyusun,


Kelompok 6





  


Daftar Isi
Halaman Judul (Sampul Depan).....................................................................           i
Kata Pengantar ...............................................................................................          ii
Daftar Isi.........................................................................................................         iii

Pendahuluan

A.      Latar Belakang.......................................................................................         1
B.      Rumusan Masalah.................................................................................           2
C.      Tujuan Penulisan....................................................................................          2

Pembahasan                                                                                    
A.      Konsep Kemiskinan dan Pemberdayaan Mustadh’afin.........................         3
B.      Tafsir Surat Al-Ma’un dan Teologi Sosial Muhammadiyah..................          6
C.      Pemihakan dan Kontribusi Muhammadiyah dalam
          Pemberdayaan Kaum Mustadh’afin.......................................................       12

Penutup
A.           Kesimpulan.............................................................................................       16           

Daftar Rujukan


PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang
Muhammadiyah adalah sebuah gerakan Islam yang bersifat multi-wajah. Aktivitas muhammadiyah tidak hanya berkaitan pada bidang agama saja, akan tetapi juga bergerak pada bidang pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, dan politik pemerintahan.
Muhammadiyah didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan yang mempunyai nama asli Muhammad Darwis. Muhammadiyah didirikan pada tanggal 08 Dzulhijjah 1330 H atau bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 M. Dalam segi bahasa, Muhammadiyah mepunyai arti umat Nabi Muhammad atau pengikut Nabi Muhammad, untuk mengikuti jejak dan meneladani sunnah Nabi Muhammad.  Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran Islam yang murni dan otentik, dengan tujuan untuk memahami dan melaksanakan agama Islam yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad agar dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam.
Visi Muhammadiyah yang tertuang dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah Pasal 6 menyatakan bahwa maksud dan tujuan Muhammadiyah adalah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Masyarakat Islam  yang sebenar-benarnya secara umum dapat digambarkan sebagai keadaan suatu mayarakat yang hidup sentosa dan bahagia, disertai nikmat Allah yang berlimpah-limpah, sehingga merupakan sebuah negara yang damai, indah, dan makmur.
Masyarakat Islam tentunya terbentuk dari beberapa orang yang memiliki pribadi muslim yang sejati. Seseorang yang memiliki pribadi muslim yang sejati tentunya selalu mengikuti perintah Allah SWT, dan menjauhi segala larangan-Nya.
Kyai Haji Ahmad Dahlan dalam penafsiran Surat Al-Ma’un ayat 1-7 mengandung pesan secara umum yaitu kita seharusnya menyantuni anak yatim piatu. Anak yatim piatu termasuk salah satu kaum mustadh’afin, yaitu suatu kaum yang tertindas. Muhammadiyah sebagai organisasi gerakan Islam tentunya juga memperjuangkan nasib kaum mustadh’afin sama seperti yang dilakukan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan. Oleh karena itu, masyarakat Islam sudah seharusnya memberdayakan kaum mustadh’afin, sama seperti yang pernah dilakukan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan semasa hidupnya.

B.          Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka perihal yang menjadi rumusan masalah adalah :
1.             Apa pengertian dari konsep kemiskinan dan bagaimana cara pemberdayaan kaum mustadh’afin?
2.             Apa tafsiran dari Surat Al-Ma’un dan teologi sosial Muhammadiyah?
3.             Bagaimana pemihakan dan kontribusi Muhammadiyah dalam pemberdayaan kaum mustadh’afin?


C.              Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.             Mengetahui pengertian dari konsep kemiskinan dan cara memberdayakan kaum mustadh’afin.
2.             Mengetahui tafsiran Surat Al-Ma’un dan teologi sosial Muhammadiyah.
3.             Mengetahui pemihakan dan kontribusi Muhammadiyah dalam pemberdayaan kaum mustadh’afin.
  


PEMBAHASAN

A.          Konsep Kemiskinan dan Pemberdayaan Mustadh’afin
Kemiskinan berasal dari kata tunggal “miskin”, yang mempunyai arti “tidak berharta” atau “serba kekurangan”. Kemiskinan dapat diartiakn sebagai kondisi atau keadaan tidak berharta atau serba kekurangan[1].
Secara umum kemiskinan adalah masalah sosial yang senantiasa hadir di dalam masyarakat, dan telah lama tumbuh di dalam masyarakat. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dan mempunyai kemampuan terbatas dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kemiskinan juga sering disandingkan dengan kesenjangan, karena kesenjangan menmpunyai kaitan erat dengan kemiskinan. Kesenjangan sendiri adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi, atau dapat diartikan adanya jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin.
Macam-macam kemiskinan antara lain :
1.             Kemiskinan Absolut[2].
Situasi penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi makanan, pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.
2.             Kemiskinan Relatif.
Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, akan tetapi masih jauh berbeda dengan masyarakat di daerah sekitarnya (adanya ketimpangan sosial).
3.             Kemiskinan Alamiah atau Natural.
Kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang, seperti orang yang cacat atau sakit sehingga tidak bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
4.             Kemiskinan Kultural.
Kemiskinan yang disebabkan oleh budaya yang berasal dari diri kita sendiri, seperti melakukan pemborosan sehingga tidak dapat menabung untuk kebutuhan lainnya.
5.             Kemiskinan Struktural.
Kemiskinan ini disebabkan karena struktur atau pekerjaan seseorang tersebut tidak memungkinkan dirinya untuk berkembang, seperti buruh harian lepas.

Kemiskinan tentunya tidak datang dengan sendirinya, ada beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan, antara lain :
1.             Faktor internal, adalah faktor yang berasal dari dalam diri orang tersebut.
a.       Fisik
b.      Intelektual
c.       Mental Emosional
d.      Spiritual
e.       Sosial Psikologis
f.       Ketrampilan
g.      Asset

2.             Faktor eksternal, adalah faktor yang berasal dari luar diri individu tersebut.
a.       Terbatasnya pelayanan sosial
b.      Kurangnya dukungan pemerintah
c.       Kondisi geografis yang sulit, tandus

Dalam agama Islam kaum miskin atau kaum lemah disebut dengan kaum mustadh’afin. Mustadh’afin berasal dari kata mustadaaf yang dapat diartikan sebagai kaum lemah atau yang dilemahkan, kaum tertindas atau kaum yang tidak berdaya. Golongan yang termasuk ke dalam kaum mustadh’afin adalah wanita, anak yatim piatu, serta kaum fakir miskin. Sedangkan dalam konteks sosial, mustadh’afin dapat merujuk kepada masalah kemiskinan, etos kerja, dan ketidakberdayaan dalam menjalani kehidupan.
Pemberdayaan mustadh’afin adalah proses, cara, atau tindakan untuk memberdayakan kaum yang lemah (mustadh’afin), salah satunya memberdayakan anak yatim piatu. Pemberdayaan kaum masyarakat mustadh’afin ini bertujuan untuk membentuk individu atau kelompok yang dikategorikan sebagai kaum mustadh’afin dapat mandiri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Adapun langkah-langkah dalam pemberdayaan masyarakat mustadh’afin adalah :
1.             Pembentukan mentalitas kemandirian. Hal pertama yang wajib dilakukan adalah membentuk mentalitas kemandirian kepada individu atau sekelompok orang. Hal ini bertujuan agar kaum lemah dapat bersaing dalam hidup ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pembentukan mental mandiri diharapkan agar seseorang tersebut dapat terus menghadapi segala masalah dan tantangan yang ada, sekeras apapun tantangan tersebut.
2.             Keterlibatan semua pihak. Pemberdayaan masyarakat mustadh’afin tidak akan berhasil apabila semua pihak tidak terlibat secara langsung. Dalam hal ini pemerintah harus bekerja sama dengan masyarakat agar pemberdayaan masyarakat mustadh’afin ini dapat berhasil. Seperti contoh, kita dapat menolong tetangga kita yang tidak mampu.
3.             Penciptaan lingkungan yang memberikan peluang pada rakyat miskin. Hal ini dilakukan agar kaum lemah tidak ditindas oleh kaum kaya. Dapat dilakukan dengan cara menciptakan peluang kerja bagi rakyat miskin, atau dapat juga dengan mendirikan balai latihan kerja.


B.          Tafsir Surat Al-Ma’un dan Teologi Sosial Muhammadiyah
Surat Al-Ma’un diturunkan di kota Mekah dan termasuk ke dalam surat Makiyah. Surat Al-Ma’un terdiri dari 7 ayat dan menempati urutan ke 107 di dalam Al-Qur’an. Nama Surat Al-Ma’un sendiri diambil dari kata Al-Ma’un yang terdapat pada ayat ke-7 yang mempunyai arti barang-barang yang berguna.
Surat Al-Ma’un mengingatkan kaum beriman yang rajin dalam melaksanakan salatnya, akan tetapi tidak peduli kepada anggota masyarakat yang lemah. Mereka tidak menghayati penuh salatnya, mereka hanya sibuk berlomba memamerkan apa yang ia miliki, tanpa sedikitpun peduli untuk berbagi kepada masyarakat yang lemah. Sikap seperti itu sama saja dengan mengingkari hari pembalasan, karena siapapun yang meyakini hari pembalasan tidak akan bersikap demikian.
Dalam menyantuni anak yatim piatu, fakir dan miskin, K. H. Ahmad Dahlan berpijak dari Surat Al-Ma’un [107] ayat 1-7 yang berbunyi[3] :
  
بِسْمِاللَّهِالرَّحْمَٰنِالرَّحِيمِ

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih juga maha penyayang

أَرَأَيْتَالَّذِييُكَذِّبُبِالدِّينِ  
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?


فَذَٰلِكَاالَّذِييَدُعُّلْيَتِيمَ 
Itulah orang yang menghardik anak yatim,
  
وَلَايَحُضُّعَلَىٰطَعَامِالْمِسْكِينِ
dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin.
فَوَيْلٌلِّلْمُصَلِّينَ
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
الَّذِينَهُمْعَنصَلَاتِهِمْسَا هُونَ   
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
 
الَّذِينَنَ هُمْيُرَاءُو
orang-orang yang berbuat riya,
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
dan enggan (menolong dengan) barang berguna.

Penjelasan Ayat 1-3[4]:
Untuk menggugah kepedulian kepada kaum yang lemah, surat ini diawali dengan pertanyaan tentang orang yang mendustakan hari pembalasan, pada saat hari itu hanya dapat ditolong oleh iman dan amal baiknya. Orang yang mendustakan hari pembalasan akan sangat menyesal karena tidak menyiapkan bekal sewaktu hidupnya dan tidak banyak melaksanakan kewajibannya seperti peduli kaum miskin atau kaumu mustadh’afin.
Ayat selanjutnya menjelaskan ciri-ciri orang yang mendustakan hari pembalasan, yaitu terlalu cita dengan hartanya, lemahnya iman terhadap janji Allah, dan berat berbagi rasa dengan kaum dhuafa’ baik dengan menyantuni anak yatim dan kaum miskin. Hati mereka tidak tergerak untuk meringankan beban kaum miskin, yang terpikir hanya bagaimana menambah kekayaan sebagai alat utama untuk memuaskan nafsu.
Adanya perbedaan sosial dalam masyarakat adalah suatu keadaan yang harus dihadapi oleh masyarakat, zakat dan sedekah ataupun ketentuan Islam yang mengharuskan seseorang mengeluarkan hartanya adalah untuk menutupi kesenjangan yang ada di masyarakat tersebut. Sangat jelas bahwa kesenjangan itu harus menjadi garapan masyarakat muslim, disana mereka bertemu dan bekerja sama, dan dibina semangat gotong royong dan timbang rasa. Tugas sosial ini disebut fardhu kifayah yang setiap muslim terkait dengannya harus mengembangkan kepedulian kepada kaum dhuafa’, selain mengurangi tajamnya perbedaan juga akan mempererat solidaritas dan memperkuat rasa peduli sesama. “Seseorang tidak lengkap imannya sampai ia mencintai orang lain sebagaimana ia cinta kepada dirinya”, demikian petunjuk Rosulullah SAW.

Penjelasan Ayat 4-5[5]:
Pada ayat ini Allah mengingatkan kaum beriman yang rajin salat agar tidak berperangai seperti mendustakan hari pembalasan, sebab salat yang dilakukan dengan benar akan mengubah sikap acuh menjadi peduli, peka batinnya terhadap jeritan dan kepincangan masyarakat. Orang yang rajin salat tetapi hatinya tidak terpanggil untuk menyantuni kaum papa sama dengan orang yang mendustakan hari pembalasan, karena tidak percaya bahwa segala perbuatan manusia harus dipertanggungjawabkan. Lebih dari itu, salat yang mereka kerjakan dinilai tidak berfungsi penuh, jiwanya tidak terdidik menjadi dekat kepada tuntunan agama yang rela mengorbankan harta demi tegaknya perintah Allah pada dirinya. Apabila salat tidak berfungsi bukan salatnya yang salah tetapi pengahayatannya yang kurang, kekhusyu’annya dan pengakuan dosa yang sering diucapkan di hadapan Allah kurang membekas pada hati dan sikap hidupnya.

Penjelasan Ayat 6-7[6]:
 Pada ayat ini menjelaskan bahwa orang yang tidak tebina salatnya tidak peduli dengan orang lain dan lebih bangga karena kaya dan terhormat. Harta yang dimiliki dianggap hasil dari usahanya sendiri, tiada seseorang yang berhak mengatur, zakat dan sedekah dianggap pemborosan, serta zakat dan sedekah menurutnya hanya mendidik bermalas-malasan dan bergantung kepada orang lain.
Ada pernyataan tersirat bahwa sikap acuh terhadap kaum yang papa menunjukkan ketidakyakinan seseorang kepada akherat dan janji Allah. Ia berusaha menghabiskan hartanya sebelum ajalnya datang, padahal mendermakan hartanya untuk meringankan derita sesama akan dibalas Allah dengan berlipat ganda. Kaum mukmin yang rajin salat harus menghindari sikap demikian, tiada orang yang miskin karena berzakat dan bersedekah.
Islam memandang kemiskinan dalam segala bentuknya sebagai gejala sosial yang harus dikikis dan dihilingkan. “Miskin rawan kufur”, yang terbelnggu kemiskinan mudah tergoda imannya. Sedangkan zakat, infak, dan sedekah yang dikelola dengan baik dapat menutup lubang kesenjangan ini. Perbedaan tingkat kesejahteraan tidak dijadikan batas pemisah tetapi Islam menjadikannya jembatan penghubung dan garapan masyarakat dalam bentuk “fardhu kifayah” agar tumbuh saling hormat dan peduli.
Hal yang harus diperhatikan oleh umat Islam sehubungan dengan makna dari Surat Al-Ma’un adalah :
1.             Dalam Islam tidak ada pemisah antara taqwa dan peduli kepada sesama.
2.             Kikir dan pamer harta atau kedudukan adalah sikap yang dicela agama.

Teologi adalah pengetahuan tentang ketuhanan, seperti mengenai sifat Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan agama Islam, terutama berdasar kepada kitab suci[7]. Salah satu teologi yang ada di Muhammadiyah adalah teologi sosial Muhammadiyah. Teologi ini didasarkan pada salah satu surat yang ada di Al-Qur’an yaitu Surat Al-Ma’un ayat 1-7.
Teologi sosial atau juga dikenal dengan tauhid sosial ini pertama kali dipopulerkan oleh Dr. Amien Rais dalam Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh pada bula Juli 1995[8]. Tauhid sosial merupakan sebuah krtitik terhadap sistem keyakinan umat muslim, yang mana tauhid hanya berhenti pada dimensi tauhid akidah. Menurut Amien Rais tauhid akidah juga dimanifestasikan pada dimensi kehidupan riil kemanusiaan, baik politik, kebudayaan, ekonomi, dan aspek kehidupan penting lainnya. Tauhid dalam dimensi inilah yang disebut Tauhid Sosial.
Dalam pandangan Amien Rais, tauhid sebagai sentral dan dasar keyakinan dalam Islam selain melahirkan kekayaan akan ke-Maha-Esa-an Allah juga melahirkan konsepsi ketauhidan yang lainnya dalam wujud keyakinan akan kesatuan pencitraan, kesatuan kemanusiaan, kesatuan pedoman hidup, dan kesatuan tujuan hidup umat manusia. Dengan konsepsi ini, tauhid tidak semata-mata diarahkan secara vertikal untuk membebaskan manusia dari ketersesatan dalam bertuhan, tetapi juga secara sosial-horisontal berperan sebagai pembebasan manusia dari ketidakadilan, kesewenang-wenangan, eksploitasi, dan ketertindasan, baik akibat kekuatan-kekuata kultural maupun struktural[9].
Teologi sosial sendiri sebenarnya sudah diprakarsai terlebih dahulu oleh K. H. Ahmad Dahlan melalui pengamalan Surat Al-Ma’un yang melahirkan gerakan Penolong Kesatoean Oemoem (PKO). Minat dan perhatian Muhammadiyah untuk berjuang sosial, untuk meningkatkan taraf hidup umat dan mengatasi kemiskinan telah ditanamkan oleh K. H. Ahmad Dahlan. Hal ini dapat dilihat dari pengajian yang diselenggarakan oleh K. H Ahmad Dahlan sering mengajarkan tentang surat Al-Ma’un hingga para pendengarnya merasa bosan. K. H. Ahmad Dahlan terus-menerus mengajarkan surat Al-Ma’un sampai para anggota dan simpatisan Muhammadiyah mempraktekkan secara nyata isi kandungan surat Al-Ma’un[10].
Dalam perjalanannya, upaya mengimplementasikan tauhid sosial di Muhammadiyah didukung empat doktrin, yaitu : gerakan pencerahan umat, menggembirakan amal saleh, bekerjasama dalam kebajikan, dan gerakan politik kultural yang tidak menyeret Muhammadiyah pada permainan politik praktis yang sering menjadi penyebab perpecahan.
Seiring dengan perkembangan Muhammadiyah yang semakin meluas, gagasan tauhid sosial memerlukan pengembangan dan aktualisasi, meliputi[11]:
1.             Pemberdayaan dan pembebasan umat, terutama kaum duafa dan mustadh’afin dari berbagai bentuk penindasan,
2.             Pembebasan manusia untuk membangun kehidupan yang saleh, baik individual maupun struktural.

Implementasi tauhid akidah dan tauhid sosial secara konsisten merupakan langkah baru bagi Muhammadiyah dalam rangka penegakkan nilai-nilai Islam sehingga terwujudnya masyarakat utama. Sebuah tatanan sosial yang berlandaskan pada kesamaan (musawah), keadilan (‘adalah), dan kemerdekaan (huriyyah). Serta dalam konteks ini, agama Islam disebut sebagai agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin.)



C.          Pemihakan dan Kontribusi Muhammadiyah dalam Pemberdayaan Kaum Mustadh’afin
Pemihakan dan kontribusi Muhammadiyah dalam pemberdayaan kaum Mustadh’afin dengan cara mendirikan suatu majelis yang bernama Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM). Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) adalah badan pembantu pimpinan guna membumikan visi sosial muhammadiyah. Visi sosial muhammadiyah adalah praksis Al-Ma’un yang sejak kelahirannya diajarkan oleh K. H. Ahmad Dahlan. Pada periode-periode awal, implementasi gagasan tersebut mewujud dalam majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO)[12].
PKO diprakarsai oleh K.H. Ahmad Dahlan bersama murid sekaligus sahabatnya K.H. Sujak dan berdiri sebulan sebelum K.H. Ahmad Dahlan wafat, yakni pada tanggal 13 januari 1923. Walau begitu, tahun 1918 kegiatan PKO telah mulai dilakukan untuk meringankan penderitaan penduduk sekitar Gunung Kelud di Jawa Timur yang menjadi korban letusan gunung tersebut. Selanjutnya, kegiatan-kegiatan diarahkan antara lain untuk: pendirian rumah sakit, poliklinik, rumah miskin, dan rumah yatim. Bahkan generasi awal PKO sudah berinisiatif membantu kaum miskin dengan mengumpulkan gelandang dan para pelacur untuk dididik lalu diberi keterampilan.
Ketika muktamar ke-44 dilaksanakan di Jakarta tahun 2000, sudah dirintis sebuah lembaga yaitu lembaga pembrdayaan buruh, tani, dan nelayan (LPBTN) yang menjadi cikal bakal lahirnya MPM. Lembaga tersebut diprakarsai oleh Dr. Moeslim Abdurrahman bersama-sama dengan sejumlah aktivis Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), lembaga ini mengembangkan pilot projectpendampingan dan advokasi melalui radio komunitas. 
Pada Muktamar ke- 45 di Malang, Jawa Timur, tahun 2005, muncul pemikiran untuk memperluas jelajah dan kerja-kerja pemberdayaan dan menjadikan PKO sebagai tenda besar pelayanan dan keberpihakan sosial Muhammadiyah secara terpadu dan lebih luas. Tercetusnya komitmen pemberdaya sosial dan segenap potensi masyarakat  dan umat itu tidak terlepas dari tuntutan yang dihadapi oleh Muhammadiyah untuk dapat berpihak dan membela problem-problem masyarakat di akar rumput dan komunitas mustadh’afin dalam berbagai ruang lingkup dan variasinya.
Sebagai Majelis baru, MPM dihadapkan pada tantangan internal dan eksternal yang sangat berat. Tantangan internal berhadapan dengan belum terbentuknya majelis ini sampai ke tingkat struktur Muhammadiyah cabang, belum sinerginya semua elemen persyarikatan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pemberdayaan, dan ketersediaan sumber daya. Adapun tantangan eksternal berkaitan dengan kemiskinan struktural, liluh lantaknya modal sosial masyarakat, dan rendahnya partisipasi warga berkaitan dengan kebijakan publik.
Dalam konteks inilah, peran MPM tidak lagi harus berkutat dengan wacana dan pergulatan intelektualisme semata-mata, melainkan perlu mengejawantahkannya pada tingkat praksis sosial yang lebih nyata dan lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan umat. MPM bekerja dengan semangat Al-Ma’un melintasi sekat ideologi, suku dan struktur kelembagaan Muhammadiyah maupun negara.
Dalam menjelaskan cara kerja aktivitas pemberdayaan dalam bebagai konteks, MPM mengacu pada pendekatan ekologi perkembangan manusia (ecology of human development) dan lingkungannya yang menyatakan bahwa intervensi sosial harus dapat menyentuh seluruh level relasi antar individu dan lingkungannya. Berdasarkan konsep tersebut, bidang garap yang akan diberdayakan oleh majelis adalah[13] :
1.             Penyadaran masyarakat tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara.
2.             Pengembangan kebutuhan dasar dan pendapatan masyarakat (yang miskin dan termarjinalisasi).
3.             Advokasi kebijakan, terutama yang berhubungan dengan kebijakan publik yang tidak akomodatif dan sensitif terhadap kebutuhan masyatakat luas maupun komunitas-komunitas yang termarjinalisasi.
4.             Pengembangan pusat krisis (crisis center) yang ditekankan pada recovery center di tingkat regional dan wilayah yang berfungsi sebagai respons cepat dan antisipasi terhadap problem sosial di masyarakat.

Melalui pendekatan-pendekatan tersebut, filosofi pemberdayaan yang dikembangkan oleh MPM adalah “mengembangkan cebong yang hanya mampu hidup di dalam kolam kecil menjadi katak yang dapat meloncat ke mana-mana”. Karena itu, peran MPM dalam pemberdayaan masyakarat ialah :
1.       Sebagai fasilitator dan koordinator program pemberdayaan yang dilakukan oleh Muhammadiyah (termasuk organisasi otonom dan amal usaha) dalam berbagai skala dan variasi/konsentrasi kegiatan.
2.       Sebagai inspirator dan motivator bagi warga Muhammadiyah untuk mengembangkan jiwa prososial dan voluntarisme.
3.       Sebagai mediator individu, lingkungan, dan sistem yang lebih luas.

Dalam usia yang masih muda, eksistensi majelis ini sudah ditunjukkan dengan kegiatan-kegiatan prngembangan model pemberdayaan masyarakat seperti :
1.       Model pemberdayaan petani (dalam arti luas : pertanian, nelayan, dan peternakan) dengan pendekatan Integrated Farming System (Banjarnegara, Jawa Tengah).
2.       Model khusus “Program Pemulihan Potensi Ekonomi dan Sosial Desa Pascakrisis ”melalui gerakan dakwah jamaah (usaha pemeliharaan dan pengggemukan sapi di Desa Sijeruk, Kabupaten Banjarnegara).
3.       ”Peningkatan Kemampuan Aksara Masyarakat” melalui gerakan dakwah jamaah.
4.       Model pemberdayaan masyarakat miskin kota melalui pendampingan abang becak (pilot project di Yogyakarta) bekerjasama dengan Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Pelajar Muhamadiyah (IPM) dan PP Nasyiratul ‘Aisyiyah (NA).
5.       Pengembangan industri kecil melalui penguatan kapasitas produksi dan manajamen usaha (pilot project di Yogyakarta, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Maluku).
6.       Pendidikan politik bagi masyarakat dilakukan melalui aktivitas terpadu dengan program pemberdayaan petani, nelayan, dan peternak.
7.       Menyelenggarakan diskusi publik secara berkala dengan berbagai isu menyangkut kehidupan rakyat banyak seperti mahalnya biaya pendidikan, politik pangan pemerintah, nasib buruh migran, kesehatan masyarakat, ekonomi rakyat, isu-isu difabel, dan lain-lain.

KESIMPULAN
Kemiskinan berasal dari kata tunggal “miskin”, yang mempunyai arti “tidak berharta” atau “serba kekurangan”. Kemiskinan dapat diartiakn sebagai kondisi atau keadaan tidak berharta atau serba kekurangan.
Dalam agama Islam kaum miskin atau kaum lemah disebut dengan kaum mustadh’afin. Mustadh’afin berasal dari kata mustadaaf yang dapat diartikan sebagai kaum lemah atau yang dilemahkan, kaum tertindas atau kaum yang tidak berdaya. Golongan yang termasuk ke dalam kaum mustadh’afin adalah wanita, anak yatim piatu, serta kaum fakir miskin.
Pemberdayaan mustadh’afin adalah proses, cara, atau tindakan untuk memberdayakan kaum yang lemah (mustadh’afin), salah satunya memberdayakan anak yatim piatu. Pemberdayaan kaum masyarakat mustadh’afin ini bertujuan untuk membentuk individu atau kelompok yang dikategorikan sebagai kaum mustadh’afin dapat mandiri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pemberdayaan kaum mustadh’afin juga dikenal dengan teologi sosial atau tauhid sosial. Teologi sosial sendiri pertama kali diprakarsai oleh K. H. Ahmad Dahlan melalui pengamalan Surat Al-Ma’un yang melahirkan gerakan Penolong Kesatoean Oemoem (PKO). Minat dan perhatian Muhammadiyah untuk berjuang sosial, untuk meningkatkan taraf hidup umat dan mengatasi kemiskinan telah ditanamkan oleh K. H. Ahmad Dahlan. Hal ini dapat dilihat dari pengajian yang diselenggarakan oleh K. H Ahmad Dahlan sering mengajarkan tentang surat Al-Ma’un hingga para pendengarnya merasa bosan. K. H. Ahmad Dahlan terus-menerus mengajarkan surat Al-Ma’un sampai para anggota dan simpatisan Muhammadiyah mempraktekkan secara nyata isi kandungan surat Al-Ma’un.
Pemihakan dan kontribusi Muhammadiyah dalam pemberdayaan kaum Mustadh’afin dengan cara mendirikan suatu majelis yang bernama Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM). Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) adalah badan pembantu pimpinan guna membumikan visi sosial muhammadiyah. Visi sosial muhammadiyah adalah praksis Al-Ma’un yang sejak kelahirannya diajarkan oleh K. H. Ahmad Dahlan


Daftar Pustaka

Dahlan, Zaini. 2010. Tafsir Al Fatihah & Juz 30. Yogyakarta : UII Press.
Harianto, Eko. 2012. Pendidikan Akhlak SMP/MTs Muhammadiyah. Yogyakarta : Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PWM DIY.
Hidayatullah, Syarif. 2010. Muhammadiyah & Pluralitas Agama di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Jurdi, Syarifuddin. 2010. Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Syaifullah. 1997. Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Jakarta : PT Anem Kosong Anem.
Sukaca, Agus. 2010. Mengemban Misi Muhammadiyah. Yogyakarta : Penerbit Suara Muhammadiyah.
Suwarno, Asep Kosasih. 2013. Dinamika Sosial Gerakan Muhammadiyah di Banyumas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Tim Penyusun. 2012. Ensiklopedi Muhammadiyah 2. Yogyakarta : Penerbit Mata Bangsa.
Tim Penyusun. 2012. Ensiklopedi Muhammadiyah 3. Yogyakarta : Penerbit Mata Bangsa.
Tim Penyusun. 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : PT Gramedia.
 


[1] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Ke-Empat, Jakarta : Gramedia, 2013, hlm. 921
[2] Ibid, hlm. 921
[3] Eko Harianto,  Pendidikan Akhlak SMP/MTs Muhammadiyah, Yogyakarta : Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, 2012, hlm. 52
[4] Zaini Dahlan, Tafsir Al Fatihah & Juz 30, Yogyakarta : UII Press, 2010 hlm. 237-238
[5] Zaini Dahlan, Tafsir Al Fatihah & Juz 30, Yogyakarta : UII Press, 2010 hlm. 239
[6] Zaini Dahlan, Tafsir Al Fatihah & Juz 30, Yogyakarta : UII Press, 2010 hlm. 239-240
[7] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Ke-Empat, Jakarta : Gramedia, 2013, hlm. 1444
[8] Tim Penyusun, Ensiklopedi Muhammadiyah 3, Yogyakarta : Penerbit Mata Bangsa, 2012, hlm. 796
[9] Ibid,  hlm. 796
[10] Suwarno dan Asep Kosasih, Dinamika Sosial Gerakan Muhammadiyah di Banyumas, Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2013, hlm. 118
[11] Tim Penyusun, Ensiklopedi Muhammadiyah 3, Yogyakarta : Penerbit Mata Bangsa, 2012, hlm. 796
[12] Tim Penyusun, Ensiklopedi Muhammadiyah 2, Yogyakarta : Penerbit Mata Bangsa, 2012, hlm. 530
[13] Tim Penyusun, Ensiklopedi Muhammadiyah 2, Yogyakarta : Penerbit Mata Bangsa, 2012, hlm. 531

Baca juga :


Muhammadiyah dan Pemberdayaan Mustadh’afin



Demikianlah Artikel Muhammadiyah dan Pemberdayaan Mustadh’afin

Sekianlah artikel Muhammadiyah dan Pemberdayaan Mustadh’afin kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. Sampai jumpa di postingan artikel lainnya.


Anda sekarang membaca artikel Muhammadiyah dan Pemberdayaan Mustadh’afin
Link : https://gurusekolahbaru.blogspot.com/2016/05/muhammadiyah-dan-pemberdayaan.html

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.