KEBUDAYAAN MASYARAKAT JAWA

KEBUDAYAAN MASYARAKAT JAWA - Hallo sahabat Bahan Ajar Sekolah, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul KEBUDAYAAN MASYARAKAT JAWA, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. Mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini ada manfaatnya. Baiklah, selamat membaca.

Judul : KEBUDAYAAN MASYARAKAT JAWA
Link : KEBUDAYAAN MASYARAKAT JAWA



KEBUDAYAAN MASYARAKAT JAWA


Dosen pengampu : Vika Martahayu, M.Pd




Oleh :
Nama                :   Rizki Ayu Fauziyyah
NIM                  :   150141420
Semester/Kelas :   1/B
Prodi                 :   PGSD
Mata Kuliah     :   Sosiologi Antropologi Pendidikan






SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
BANGKA BELITUNG
2015/2016


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang kebudayaan masyarakat jawa meskipun banyak kekurangan didalamnya.

            Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai kebudayaan masyarakat jawa. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat, di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

            Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Bangka Tengah,   Oktober 2015

Rizki Ayu Fauziyyah


DAFTAR ISI
                                                                                                                             Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................ i
KATA PENGANTAR......................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Bentuk Umum Kebudayaan Masyarakat Jawa........................... 3
2.2 Mata Pencahrian Hidup Masyarakat Jawa.................................. 4
2.3 Sistem Kekerabatan Dan Sistem Religi Yang Terjadi Dalam Kebudayaan Masyarakat Jawa.................................................................................................... 7
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.................................................................................. 14              
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 15

  


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kebudayaan berasal dari kata budaya yang merupakan bentuk kata majemuk kata budi-daya yang berarti cipta, karsa, dan rasa. Dalam bahasa sansekerta kebudayaan disebut dengan budhayah yaitu bentuk jamak dari kata budhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan berperan penting bagi kehidupan manusia dan menjadi alat untuk bersosialisasi dengan manusia yang lain dan pada akhirnya menjadi ciri khas suatu kelompok manusia.
Fungsi kebudayaanpada hakikatnya adalah untuk mengatur agar manusia dapat mengerti satu sama lainnya, bagaimana manusia bertindak dan bagaimana manusia itu berbuat untuk kebaikan bersama. Jadi pada intinya kebudayaan ini sebagai cerminan kehidupan manusia, jika suatu masyarakat memegang teguh kebudayaannya maka akan tercipta kehidupan yang harmonis.
Manusia sebagai mahluk budaya mampu melepaskan diri dari ikatan dan dorongan nalurinya dan mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya dan mempelajari keadaan sekitar dengan pengetahuan yang dimilikinya. Kebudayaan juga mengajarkan kepada manusia beberapa hal penting dalam kehidupan seperti etika sopan & santun menjadikan ciri khas kebudayaan orang Indonesia.
Negara Indonesia memiliki berbagai keanekaragaman kebudayaan. Dengan keanekaragaman kebudayaannya, Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Keanekaragaman budaya merupakan kekayaan bangsa kita. Kebudayaan- kebudayaan daerah merupakan modal utama untuk mengembangkan kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah yang ada di wilayah Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah
Dari rumusan masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.  Bagaimana bentuk umum kebudayaan masyarakat jawa?
2.  Bagaimana mata pencaharian hidup masyarakat jawa?
3.  Bagaimana sistem kekerabatan dan sistem religi yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat jawa?
1.3 Tujuan Penulisan
1.      menjelaskan bentuk umum kebudayaan masyarakat jawa
2.      menjelaskan mata pencahrian hidup masyarakat jawa
3.      menjelaskan sistem kekerabatan dan sistem religi yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat jawa


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bentuk Umum Kebudayaan Masyarakat Jawa
      Kebudayaan jawa yaitu meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau jawa. Ada beberapa daerah yang secara kolektif sering disebut daerah kejawen, daerah itu ialah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Dan Kediri. Daerah diluar itu dinamakan pesisir dan ujung timur.[1]
      Sehubungan dengan hal itu maka dalam seluruh rangka kebudayaan Jawa ini, dua daerah luas bekas kerajaan Mataram sebelum terpecah pada tahun 1755, yaitu Yogyakarta dan Surakarta, adalah merupakan pusat dari kebudayaan tersebut. Sama halnya dengan daerah Kejawen lainnya. Di dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebelah selatan terdapat kelompok masyarakat orang Jawa yang masih mengikuti dan mendukung kebudayaan Jawa tersebut. Pada umumnya mereka itu membentuk kesatuan-kesatuan hidup setempat ia menetap di desa-desa.
      Pada prinsipnya ada dua macam bahasa Jawa apabila ditinjau dari kriteria tingkatannya yaitu Bahasa Jawa Ngokodan Krama. Bahasa Jawa Ngoko dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajat atau status sosialnya. Lebih khusus lagi adalah Bahasa Jawa Ngoko Lugu dan Ngoko Andap. Sebaliknya Bahasa Jawa Krama dipergunakan untuk berbicara dengan yang belum dikenal akrab tetapi yang sebaya dalam umur maupun derajat dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur serta status sosialnya.
      Macam-macam bahasa Jawa berdasarkan umur dan derajat sosial masyarakat antara lain : Bahasa Jawa Madya, yang terdiri dari tiga macam bahasa yaitu : Madya Ngoko, Madya Antara, Madya Krama. Dalam bahasa Madya Krama, ada Krama Inggil yang terdiri dari 300 kata-kata yang dipakai untuk menyebut nama-nama anggota tubuh, aktifitas, benda milik, sifat-sifat dan emosi-emosi dari orang-orang yang lebih tua umur atau lebih tinggi derajat sosialnya. Ada juga bahasa Kedaton (atau bahasa Bagongan) yang khusus dipergunakan di kalangan istana, bahasa Jawa Krama Desa atau bahasa orang-orang di desa-desa dan akhirnya bahasa Jawa Kasar yakni bahasa yang diucapkan oleh orang-orang dalam keadaan marah atau mengumpat seseorang.[2]

2.2 Mata Pencaharian Hidup Masyarakat Jawa
     Selain sumber penghidupan yang berasal dari pekerjaan-pekerjaan kepegawaian, pertukangan dan perdagangan, bertani adalah salah satu mata pencaharian hidup dari sebagian besar masyarakat orang Jawa di desa-desa. Di dalam melakukan  pekerjaan pertanian ini, di antara mereka ada yang menggarap tanah pertaniannya untuk dibuat kebun  kering (tegalan), terutama mereka yang hidup di daerah pegunungan, sedangkan bagi mereka yang tinggal di daerah dataran rendah mengolah tanah-tanah pertanian tersebut guna dijadikan sawah. Di samping tanaman padi, beberapa jenis tanaman palawija juga ditumbuhkan baik sebagai tanaman utama di tegalan maupun sebagai tanaman penyela di sawah pada waktu –waktu musim kemarau di mana air sangat kurang untuk pengairan  sawah-sawah itu, seperti ketela pohon, jagung, ketela rambat, kedelai, kacang tanah, kacang tunggak, gude, dll.
     Awal mulanya tanah sawah digarap dan diolah atau satu orang atau lebih. Kemudian, tanahnya dibuat bertingkat-tingkat atau bisa juga dibuat datar dan diberi pematang sebagai penahan air. Setelah itu, tanah digarap dengan bajak (luku). Ini bertujuan supaya tanah menjadi lebih mudah ditugali, yaitu pekerjaan menghancurkan tanah dengan cangkul. Setelah kedua proses penggarapan itu selesai, tanah didiamkan selama kurang lebih satu minggu, kemudian baru diolah dengan garu. Ini dimaksudkan supaya tanah menjadi lunak dan lumat. Dalam hal ini seluruhnya dibantu oleh pengairan. Setelah selesai digaru, lalu diberi pupuk hijau dan pupuk kandang. Pupuk hijau terdiri dari daun-daun pohon karang kitri. Sedangkan pupuk kandang ialah kotoran hewan sapi, kerbau, kuda atau kambing. Setelah diberi pupuk, tanah sawah dibiarkan lagi selama satu minggu sambil digenangi air. Dan yang terakhir, sawah dibajak sekali lagi supaya semua lapisannya digenangi air dan terkena pupuk, digarusekali lagi dan akhirnya barulah tanah sawah tersebut dapat ditanami padi.[3]
     Sebelum ditumbuhkan disawah, bibit paadi terlebih dahulu disebarkan dan disemaikan dalam persemaian (pawinihan). Butir-butir benih dipilih yang masih melekat pada batangnya atau dalam keadaan utuh. Kegiatan memilih butir-butir padi yang akan menjadi bibit disebut nglinggori. Kemudian, batang-batang padi yang berisi butir-butir padi itu dipotong dalam keadaan sedang. Keadaan sedang disini diartikan sebagai batang padi tersebut tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda. Selanjutnya, potongan padi diikat menjadi beberapa ikatan (untingan). Untingan dijemur satu hari, kemudian butir-butirnya ditanggali dan dimasukkan kedalam bakul besar disebut tenggok. Kemudian, bakul yang berisi butir-butir padi tersebut direndam air selama satu hari satu malam, dan setelah itu di-pep yaitu ditutup dengan daun pisang sampai dua atau tiga hari hingga tumbuh akar-akarnya. Setelah akar-akarnya tumbuh, maka bibit padi dapat disebarkan di persemaian. Benih padi baru dapat dipindahkan disawah kurang lebih antara 15 samapai 30 hari. Pekerjaan pemindahan tunas batang padi dinamakan nguriti atau ndaut.
     Selama dalam pertumbuhannya, tumbuhan padi yang masih muda itu harus dipelihara serta dijaga supaya tidak ada tumbuh-tumbuhan liar merusaknya. Untuk itu dilakukan pekerjaan mematun dengan memakai alat yang disebut gosrok. Akhirnya, setelah padi masak maka padi tersebut dituai dengan ani-ani untuk disimpan didalam lumbung. Setealah 40 hari barulah padi dapat ditumbuk.
     Selain bersawah sebagian penduduk juga menanam tanaman palawija diantaranya kedelai dan kacang brol. Kedua jenis palawija tersebut biasanya ditanam pada saat mennjelang musim kemarau. Oleh karena itu, kedua tumbuhan tersebut tidak membutuhkan air yang banyak kecuali pada waktu awal pertumbuhannya, maka petani membuat lubang-lubang untuk mengalirkan air keluar dari swah pada tepi dan sudut-sudut pematangannya.
     Pada permulaan pertumbuhan palawija tersebut dibutuhkan banyak air, maka sebelum bersemi, tanah bawah digenangi air selama kira-kira satu minggu dan ini disebut ngelebi.Alat yang digunakan untuk membenam biji kedelai dan kacang brol tersebut adalah panja, yaitu sebatang kayu yang telah diruncingkan ujungnya dan panjangnya kira-kira dua meter (digging stick). Setelah usia tanaman mencapai 15 hari, lalu didangir, yaitu suatu pekerjaan meninggikan tanah ditepian bawah batang yang sedang tumbuh menggunakan gatul. Setelah satu bulan lebih sedikit, maka buah sudah dapat dipetik.[4]
     Produksi tiap-tiap jenis tumbuhan bahan pangan itu diukur dalam setiap luas sawah misalnya satu lobang, satu patok, atau satu ru. Sawah-sawah milik sendiri adalah sawah sanggan dan sawah dan sawah yasan. Pemilik yang kelbihan dapat menjual sawahnya keorang lain secara adol tahunan yaitu hanya menyewakan sawahnya selam satu tahun atau secara adol ceplik yaitu menjual lepas sawahnya.
     Orang-orang yang tidak mempunyai tanah pertanian terpaksa bekerja menjadi buruh tani, menyewa tanah, bagi hasil, atau menggadai tanah. Buruh tani biasanya melakukan pekerjaan seperti mencangkul, mematun membajak, menggaru, dan menuai pada sawah-sawah milik oang lain didesa. Upahnya ditentukan menurut berapa kali ia bekerja angkatan, ialah ukuran waktu kerja yang sama dengan 4 jam lamanya. Dalam satu hari dibagi menjadi 3 angkatan, yaitu angkatan pertama dimulai dari jam 06.00-10.00, angkatan  kedua dari jam 10.00-14.00, dan angkatan ketiga dari jam 14.00-18.00.
     Adapun orang yang menyewa tanah, karena ia kaya dapat memberikan sejumlah uangnya kepada pemilik sawah yang memerlukan, misalnya untuk satu kali masa panen, yang disebut adol ayodan. Orang yang tidak memiliki tanah namun ingin mendapat hasil dengan cara bagi hasil, yaitu memperoleh separo bagian hasil panennya, sistem ini disebut maro. Kalau orang tersebut menerima sepertiga bagian saja, maka sistem tersebut dinamakan mertelu. Jika ada orang hendak menggadai tanah, maka ada yang disebut adol sende, artinya ia meminjam uang kepada orang lain, diamana orang tersebut mendapat tanah pertanian sebagai barang gadaian untuk diolah. Kemudian, jika si peminjam uang telah mengembalikan uang pinjamannya pada suatau waktu, maka tanah pertanian tersebut dikembalikan lagi kepada pemilik awalnya.
     Selain sumber penghasilan dari lapangan, ada pula beberapa sumber pendapatan lain yang diperoleh dari usaha-usaha sambilan seperti membuat makanan tempe kara bekuk, mencetak batu merah, mbotok atau membuat minyak goring kelapa, membatik, mengayam tikar, dan menjadi tukang-tukang kayu, batu atau reparasi sepeda, dan lain-lain.[5]
2.3 Sistem Kekerabatan Dan Sistem Religi Yang Terjadi Dalam Kebudayaan Masyarakat Jawa
Ø  sistem kekerabatan
     Sistem kekerabatan orang jawa didasarkan pada prinsip keturunan bilateral. Sedangkan, sistem istilah kekerabatannya menunjukkan sistem klarifikasi menurut angkatannya. Contohnya adik laki-laki dari ayah atau ibu dipanggil dengan paman, sedangkan adik perempuan dari ayah atau ibu dipanggil dengan bibi. Pada masyarakat berlaku adat, apabila ada dua orang perempuan dan laki-laki merupakan saudara sekandung maka kedua orang tersebut tidak dapat menikah.

     Apabila mereka itu pancer lanang, yaitu anak dari dua orang saudara laki-laki; apabila mereka itu adalah misan; dan akhirnya apabila pihak laki-laki lebih muda menurut ibunya daripada pihak perempuan. Adapun perkawinan antara dua orang yang tidak terikat karena hubungan-hubungan kekerabatan diatas diperkenankan. Ada macam-macam perkawinan lain yang diperkenankan diantaranya perkawinan ngarang wulu adalah suatu perkawinan seorang duda dengan seorang wanita salah satu adik dari almarhum istrinya. Jadi, merupakan perkawinan sororat. Perkawinan wayuh ialah suatu perkawinan lebih dari satu isteri (poligami).[6]
     Sebelum dilangsungkan peresmian perkawinan, terlebih dahulu diselenggarakan serangkaian upacara-upacara. Seorang pria mula-mula harus dating ketempat si gadis pujaan hatinya untuk menanyakan kepada si gadis apakah ia sudah ada yang empunya atau belum (legan). Jika orangtua si gadis telah meninggal, hal itu disebut nakokake dapat ditanyakan kepada wali, yakni anggota kerabat dekat yang dihitung menurut garis laki-laki. Pada waktu nakokake, biasanya pihak pria didampingi oleh orangtua. Jika terjadi perjodohan, biasanya diadakan upacara nontoni, yaitu calon suami mendapat kesempatan untuk melihat calon isterinya. Jika si gadis belum ada yang punya dan kehendak hati mempersuntingnya diterima, lalu ditetapkan kapan diadakan peningsetan, yaitu upacara pemberian sejumlah harta pihak laki-laki calon suami kepada kerabat si gadis. Biasanya berupa sepotong kain dan kebaya yang disebut pakaian sakpengadek. Terkadang disertai dengan sebuah cincin kawin, yang berarti si gadis sudah terikat untuk melangsungkan perkawinan atau wis dipacangake. Tanggal serta bulan perkawinan diperhitungkan dengan cara weton, yaitu perhitungan hari kelahiran kedua calon pengantin berdasrakan kombinasi nama sistem perhitungan tanggal masehi dengan tanggal sepasaran (mingguan orang jawa), merupakan suatu unsur yang sangat penting.
     Dua atau tiga hari sebelum upacara pertemuan kedua pengantin, diadakan upacara asok-tukon, yaitu suatu tanda penyerahan harta kekayaan pihak laki-laki kepada pihak wanita secara simbolis.[7]
     Asok-tukon disebut juga srakah atau seserahan (mas kawin). Sistem perkawinan yang lain ialah sistem perkawinan magang atau ngenger ialah seorang jejaka yang telah mengabdikan dirinya kepada kerabat seorang gadis; sistem perkawinan triman, yaitu seorang yang mendapatkan isteri sebagai pemberian atau penghadiahan dalam salah satu lingkungan keluarga tertentu; sistem perkawinan ngunggah-ngunggahi, dimana pihak kerabat si gadis yang melamar jejaka; dan sistem perkawinan paksa, yaitu suatu perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita atas kemauan kedua orangtua mereka.
     Sehari menjelang upacara perkawinan, pada pagi hari beberapa anggota kerabat pihak wanita akan berkunjung kemakam para leluhurnya untuk meminta doa restu. Sedangkan pada sore harinya diadakan upacara selamatan berkahan yang dilanjutkan dengan leklekan dimana para kerabat si gadi dan tetangganya berjaga dirumah si gadis hingga larut malam bahkan hingga pagi hari. Malam menjelang hari pernikahan disebut malam tirakatan atau malam midadareni.
     Setelah tiba hari perkawinan, pengantin laki-laki dengan diiringkan oleh orang tua atau walinya berikut pada handait aulannya dan juga para tetangga sedukuh maupun sedesa, pergi ke kelurahan desa untuk melaporkan kepada kaum, yaitu salah seorang dari anggota pamong desa yang khusus bertugas mengurus hal nikah, talak, dan rujuk. Sesudah itu ke kantor urusan agama kecamatan menghadap penghulu, yakni salah satu pegawai kantor tersebut,yang pekerjaannya mengawinkan orang, dengan upacar ijab Kabul atau akad nikah. Upacara disaksikan oleh wali dari kedua belah pihak.

     Setelah pengantin laki-laki dan wali pengantin wanita membubuhkan tanda tangan di atas surat kawinnya, kemudian pengantin laki-laki menyerahkan sejumlah uang sebagai tanda maskawin hokum perkawinan islam. Ijab Kabul atau akad nikah itu dapat dilakukan di rumah pengantin wanita, yaitu dengan memanggil penghulu.kemudian setelah upacara ini berakhir lalu dilakukan upacara pertemuan (temon) antara kedua mempelai yang akhirnya dipersandingkan di atas pelaminan. Apabila mempelai laki-laki berkehendak membawa isterinya,hal ini dapat dilaksanakan sesudah sepasar,atau sama dengan lima hari sejak mereka dipertemukan. Pemboyongan yang disrtai pesta upacara lagi di tempat kediaman mempelai laki-laki ini disebut ngunduh temanten.[8]
Ø  Sistem religi
Agama islam umumnya berkembang baik di kalangan masyarakat orang jawa.hal ini tampak nyata pada bangunan-bangunan khusus untuk beribadat oaring-orang yang beragama islam.walaupun demikian tidak semua orang beribadat menurut agama islam,sehingga berlandasan atas kriteria pemeluk ag amanya,ada yang disebut islam santri dan islam kejawen. Kecuali itu masih ada juga di desa-desa jawa orang-orang pemeluk agama nasrani ataau agama besar lainnya. Mengenai orang santrisudah ada keterangan di atas; mereka adalah penganut agama islam di jawa yang secara patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran dari agamanya. Adapun orang islam kejawen, walaupun tidak menjalankan salat, atau puasa, serta tidak bercita-cita naik haji, tetapi toh percaya ajaran keimanan agama islam. Tuhan, mereka sebut gusti allah dan nabi Muhammad adalah kangjeng nabi. Kecuali itu orang islam kejawen ini, tidak terhindar dari kewajiban berzakat. kebanyakan orang jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta, sehingga tidak sedikit mereka yang bersikap nerima, yaitu menyerahkan  diri kepada takdir. Inti pandangan alam pikiran mereka tentang kosmos tersebut, baik diri sendiri, kehidupan sendiri, maupun pikiran sendiri, telah tercakup di dalam totalitas alam semesta atau kosmos tadi.inilah sebabnya manusia hidup tidak terlepas dengan lain-lainnyayang ada di alam jagad. Jadi apabila lain hal yang ada itu mengalami kesukaran,maka manusia akan menderita juga.
Bersama-sama dengan pandangan alam pikiran partisipasi tersebut,oraang jawa percaya kepada suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan di mana saja yang pernah dikenal, yaitu kesakten. kemudian arwah atau ruh leluhur, dan makhluk-makhluk halus seperti misalnya memedi, lelembut, tuyul, demit  serta jin dan lainnya yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka.[9]
Menurut kepercayaan masing-masing makhluk tesebut dapat mendatangkan sukses-sukses, kebahagiaan, ketentraman, ataupun keselamatan, tetapi sebaliknya bisa pula menimbulkan gangguan pikiran, kesehatan, bahkan kematian. Maka bilamana seseorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu, ia harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta dengan misalnya berprihatin, terakhir ini kerap kali dijalankan oleh masyarakat orang jawa di desa-desa di waktu yang tertentu dalam peristiwa-peristiwa kehidupan sehari-hari.
Selamatan adalah suatu upacara makan bersama makanan yang telah di berikan doa sebelum di bagi-bagikan.selamatan itu tidak terpisahkan dari pandangan alam pikiran partisipasi tersebut di atas, dan erat hubungannya dengan kepercayaan unsur-unsur kekuatan sakti maupun makhluk-makhluk halus tadi. Sebab hamper semua selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan-gangguan apapun. Hal ini juga terlihat pada asal kata nama upacara sendiri, yakni kata selamat. Upacara ini biasanya dipimpin oleh modin, yaitu salah seorang pegawai masjid yang berkewajiban mengucapkan adzan.[10]
Upacara selamatan digolongkan menjadi empat, sesuai dengan peristiwa yang terjadi yaitu :
1.      Selamatan dalam rangka selamatan hidup seseorang, seperti hamil tujuh bulan, kelahiran, upacara potong rambut pertama, sunat, dll.
2.      Selamatan yang bertalian dengan bersih dosa, penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen padi.
3.      Selamatan berhubungan dengan hari-hari besar islam
4.      Selamatan dengan keadaan saat tidak tertentu, seperti membuat perjalanan jauh, menolak bahaya, pindah kerumah baru, dll.[11]
Selamatan yang berhubungan dengan kematianadalah suatu adat kebiasaan yang sangat diperhatikan oleh masyarakat jawa. Hal ini mungkin disebabkan karena masyarakat jawa sangat menjunjung tinggi ruh nenk moyang. Mereka mempercayai untuk menolong keselamatan arwah nenek moyang ialah dengan cara membuat berbagai upacara selamatan (sedekahan), sejak awal kematian hingga keseribu harinya. Upacara selamatannya seperti berikut :
1.      Sedekah surtanah atau geblak yang dilakukan pada saat meninggalnya seseorang
2.      Sedekah nelung dina, dilakukan pada hari ketiga sesudah meninggalnya seseorang
3.      Sedekah mitung dina, ialah upacara selamatan saat sesudah meninggalnya seseorang yang jatuh pada hari ketujuh
4.      Sedekah matang puluh dina, yaitu upacara selamatan pada hari keempat puluh meninggalnya seseorang
5.      Sedekah nyeratus, diadakan pada seratus hari meninggalnya seseorang
6.      Sedekah mendak sepisan atau mendak pindo, ialah upacara selamatan pada satu tahun dan dua tahun meninggalnya seseorang
7.      Sedekah nyewu, sebagai upacara selamatan tepat genap seribu hari meninggalnya seseorang[12]
Karena sikap dan pembawaan orang jawa yang suka mengadakan orientasi, maka banyak timbul aliran-aliran kebatinan. Dilihat dari bentuk, maupun sifatnya, terdapat:
1.         Gerakan atau aliiran kebatinan yang keuaniyahan; aliran ini percaya adanya ruh halus
2.         Aliran yang keislam-islaman dengan ajaraan-ajaran yang banyak mengambil unsur-unsur keimanan agama islam, sepeti soal ketuhanan dan rasul-Nya
3.         Aliran kehindu-jawian, diaman para pengikutnya percaya kepada dewa-dewa agama hindu
4.         Aliran-aliran yang bersifat mistik, dengan usaha manusia untuk mencari kesatuan dengan tuhan
Sebagai contoh tentang bermacam-macam aliran kebatinan yang pernah berkembang di daerah selatan Yogyakarta misalnya “ADARI” singkatan dari ‘Agama Jawa Asli Republik Indonesia,’ “Hidup Betul, Hendra Pusara, Hidup Betul Iman Agama Hak, Dan Parda Pusara Panitisan Rohani. Hampir semua gerakan atau aliran-aliran tersebut bertujuan untuk menuju kesempurnaan hidup manusia.[13]


BAB III
PENUTUP
3.1  kesimpulan
Daerah kebudayaan Jawa itu luas, yaitu meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari pulau Jawa. Sungguhpun demikian ada daerah-daerah yang secara kolektif sering disebut daerah kejawen. Sebelum terjadi perubahan-perubahan status wilayah seperti sekarang ini,  daerah itu ialah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri. Daerah di luar itu dinamakan Pesisir dan ujung timur.


DAFTAR PUSTAKA

Asyhari, Hasan. Makalah Antropologi Kebudayaan. Dalam http://hasanpedulipendidikan.blogspot.co.id/2013/02/makalah-antropologi-kebudayaan.html, diakses tanggal 10 oktober 2015
Koentjaraningrat. 2007. Manusia Dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: djambatan



[1] Prof. Dr. koentjaraningrat. manusia dan kebudayaan di indonesia. (Jakarta: djambatan. 2007) hl. 329
[2]Hasan asyhari. Makalah antropologi kebudayaan.  (http://hasanpedulipendidikan.blogspot.co.id/2013/02/makalah-antropologi-kebudayaan.html diakses tanggal 10 oktober 2015)
[3] Prof. Dr. koentjaraningrat. manusia dan kebudayaan di indonesia. (Jakarta: djambatan. 2007) hl.334
[4] Prof. Dr. koentjaraningrat. manusia dan kebudayaan di indonesia. (Jakarta: djambatan. 2007) hl.335
[5] Prof. Dr. koentjaraningrat. manusia dan kebudayaan di indonesia. (Jakarta: djambatan. 2007) hl.336-337
[6] Prof. Dr. koentjaraningrat. manusia dan kebudayaan di indonesia. (Jakarta: djambatan. 2007) hl.337
[7] Prof. Dr. koentjaraningrat. manusia dan kebudayaan di indonesia. (Jakarta: djambatan. 2007) hl.338
[8] Prof. Dr. koentjaraningrat. manusia dan kebudayaan di indonesia. (Jakarta: djambatan. 2007) hl.339-340
[10] Prof. Dr. koentjaraningrat. manusia dan kebudayaan di indonesia. (Jakarta: djambatan. 2007) hl.346-347
[12] Prof. Dr. koentjaraningrat. manusia dan kebudayaan di indonesia. (Jakarta: djambatan. 2007) hl.348
[13] Prof. Dr. koentjaraningrat. manusia dan kebudayaan di indonesia. (Jakarta: djambatan. 2007) hl.349-350

Baca juga :


KEBUDAYAAN MASYARAKAT JAWA



Demikianlah Artikel KEBUDAYAAN MASYARAKAT JAWA

Sekianlah artikel KEBUDAYAAN MASYARAKAT JAWA kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. Sampai jumpa di postingan artikel lainnya.


Anda sekarang membaca artikel KEBUDAYAAN MASYARAKAT JAWA
Link : https://gurusekolahbaru.blogspot.com/2016/05/kebudayaan-masyarakat-jawa.html

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.